Langsung ke konten utama

ISTRIKU BOROS - NK Yaini

#istriku_boros

ISTRIKU BOROS.

"Ragil, istrimu tuh boros banget. Kalau di total sebulan keuntungan tokomu bisa 7 jutaan. Tapi, hidupmu segitu-gitu aja. Lihat tuh istri Mas Imam, pinter ngatur uang. Dengan gaji Mas Imam yg hampir sama kaya kamu, sekarang sudah punya mobil. Itu mereka hidup di Bekasi loh, kota besar! ini istrimu hidup di kampung masa uang segitu ga jadi daging," ucap ibu mertuaku pada suamiku kala itu.
Aku mendengarnya dengan jelas dari dalam kamarku.
Hatiku sedih sekali rasanya di banding-bandingkan dengan istri kakak iparku.

Rumah mertuaku hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku dan beliau hampir setiap hari duduk-duduk di teras rumahku untuk sekedar berbincang dengan suamiku Mas Ragil, putra bungsunya.
Sebenarnya, aku tidak keberatan.Tapi, kadang perkataannya membuatku sedih, karena yang dia tuduhkan hanya satu . . .
'Aku istri yang boros'

Awalnya, suamiku tidak mendengarkan ibunya.
Tapi lama kelamaan . . .
"Mah, kamu tuh boros banget yah. Uang yang ku kasih selalu habis. Ga bisa apah nabung sedikit biar kita bisa beli mobil? Aku tu juga pengen punya mobil kaya Mas Imam."

Aku hanya bisa pasrah menunduk saat suamiku marah-marah.
Iya memang, aku tidak bisa menabung uang yang di berikannya. Aku juga bingung. Aku sudah berusaha hemat, tapi nyatanya uang kami selalu habis tak tersisa.
Anakku dan anak Mas Imam sama-sama 3 orang.
Tapi, rasanya dalam management keuangan, aku ga sepintar Mba Rita, istri Mas Imam.

Hari berganti hari, bully suami dan mertua terhadapku dengan sebutan 'istri yang boros' membuatku setres, sedih dan terpuruk.

Sampai suatu saat,
Liburan hari Raya Idul Fitri tiba ....
Seperti biasa, Mba Rita dan suaminya pulang ke rumah ibu mertuaku untuk merayakan lebaran bersama.
Mba Rita sebenarnya orang baik. Tutur katanya lembut, murah senyum dan sayang sama anak-anakku. Tapi, aku sangat membencinya karena dialah orang yang membuat aku terpojok di keluarga mertuaku.

Tok ... tok ... tok ....
"Assalamu'alaikum ...."
Terdengar suara perempuan mengetuk pintu rumahku. Suaranya tidak asing lagi, itu suara Mba Rita.
"Wa'alaikum salam," jawabku segera membukakan pintu.
"Vina . . . apa kabar?", Sapa Mba Rita dengan sangat ramah lalu memelukku erat.
Aku terpaksa membalas pelukannya, "baik mba, ayo masuk ... duduk dulu," jawabku sambil merapikan kursi untuk Mba Rita duduk.
"Ragil mana Vin?"
"Masih di toko mba"
"Wahh rajin sekali ya suamimu, udah mau lebaran masih buka toko aja. Denger-denger tokomu laris banget ya Vin. Karyawanmu udah 3? Duh seneng ya bisa jadi wirausaha sukses."
Aku cuma senyum sekedarnya. Dalam hatiku, aku sangat tidak suka Mba Rita ada disini.
-----

Pagi itu ....
5 hari sudah mba Rita di rumah mertuaku.
Ibu bapak mertua, Mas Imam dan Mas Ragil pergi ta'ziah ke kampung sebelah.
Anak-anak bermain di halaman rumah.
Tinggal lah aku dan Mba Rita berdua memasak di dapur ibu mertua. Kami berencana memasak banyak untuk tamu ibu yang akan datang siang ini.

Aku memberanikan diri menanyakan sesuatu yang privasi kepada Mba Rita.
"Mba, aku mau nanya sesuatu."
Aku masih dengan nada jutek. Tapi, Mba Rita menanggapi dengan tersenyum,
"Ada apa Vin?"
"Emmm... kita bicara sebagai sesama menantu ya mba, kadang aku bingung sama mba. Mba bisa beli mobil, cash lagi . . . hidup mba terlihat enak dan sukses di kota. Disini juga ibu selalu banding-bandingin aku sama mbak masalah management uang. Padahal kata ibu juga, rata-rata pendapatan suami kita hampir sama dan anak kita jumlahnya sama. Gimana sih cara mba mengatur uangnya? Soalnya ibu bilang aku sangat boros padahal aku ngerasa udah hemaaaattt sekali."
"Yah ... itulah yang namanya 'sawang sinawang' Vin.. Yang terlihat enak, belum tentu hidupnya enak,"
"Maksud mba?"
"Gini Vin . . . "lanjut Mba Rita, "aku beli mobil sebenarnya bukan karena aku punya uang banyak. Tapi karena kebutuhan. Di kota, mba ga punya saudara yang bisa di titipin anak saat mba & suami harus pergi-pergi. Kalau mba angkut 3 anak mba pake motor jadi satu, kena tilang polisi. Dan ... kalau musim liburan dan lebaran, tiket kereta mahal Vin. Dari Bekasi ke sini satu orang 400 ribuan. Sekeluarga 5 orang, udah 2 juta. Itu sekali jalan. Pulang-pergi udah 4 juta belum uang makan selama di jalan. Jadi, menurut kami ga ada salahnya kami memprioritaskan mobil untuk bisa sering-sering nengokin orang tua disini. Lagian ibu bapak sudah tua, kami ingin sering-sering menengoknya. Dan kami yakin, segala sesuatu itu ... bukan masalah 'mampu atau ga mampu' tapi .... 'prioritas atau bukan prioritas' ngerti kan?."

Aku mencoba mengerti apa yang di jelaskan Mba Rita. Tapi, otakku yang memang agak tulalit masih belum mengerti juga.
"Kalau mba ga punya banyak uang, kok Mba Rita bisa beli mobil?"
"Itulah Vin. Namanya kebutuhan, ya ... gimana caranya aku sama suami prihatin. Mobilku itu second, kami 3 tahun menabung dan prihatin untuk mobil itu. Alhamdulillah pas kita nyari mobil, ada temen yang jual mobilnya murah karena butuh dana.
Untuk menabung, suamiku berhenti merokok. Dan alhamdulillah sampai sekarang ga merokok lagi. Lumayan uang rokok suamiku sebulan sekitar 1 juta sampai 1.5 juta loh.
Selain itu, dia berhenti pergi-pergi yang ga perlu sama temen-temennya. Dan . . . dia juga makan ga pilih-pilih. Ibarat makan sama tempe + sambel aja udah lahap. Selain itu, suamiku juga pintar berbicara dg anak-anak apabila mereka ingin sesuatu yang lumayan mahal dan kami belum bisa membelikannya.
Jadi initinya gini Vin . . . untuk mewujudkan sebuah impian, suami istri harus kompak berhemat, ga bisa istrinya aja yang berhemat, atau suaminya aja yang berhemat. Harus bersama-sama dalam satu komitmen."

Panjang lebar Mba Rita menjelaskan sampai aku di buat manggut-manggut. Aku baru tau, ternyata Mba Rita beli mobil agar bisa sering jengukin orang tua, bukan untuk kemewahan.
Dan yang bikin aku takjub, ternyata Mba Rita bukan lebih tangkas dariku dalam mengatur uang, tapi Mas Imam-lah yang pandai menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan keinginan keluarganya.

Kalau dibanding suamiku,
Suamiku juga ingin punya mobil.
Tapi, suamiku masih jadi perokok aktif. Malah sangat aktif. Bisa 2 bungkus sehari. Rokoknyapun yang mahal.
Selain itu, suamiku gemar pergi bersama teman-temannya untuk bersenang-senang dan dia tidak bisa makan jika lauknya tidak ada daging-dagingan.
Dan yang tidak kalah membelenggu adalah, mertuaku juga selalu memarahiku jika cucunya terlihat menangis minta sesuatu tapi aku tidak membelikannya. Dan juga, mertuaku itu selalu menuntutku dan anak-anak tampil modis saat ke hajatan atau ke acara keluarga. Katanya, aku ga boleh malu-maluin suamiku. Jadi terpaksalah aku sering membeli pakaian, sepatu, tas dan barang2 'tak bernilai jual kembali' saat akan menghadiri sebuah acara hajatan.

Rupanya, kelemahan dari keuangan kami adalah tidak adanya komitmen berhemat bersama. Yang ada hanyalah aku yang di pojokkan untuk berhemat, berhemat dan terus berhemat.
Baiklah, sampai disini, aku punya ide untuk menyadarkan suamiku.
------------

Aku menolak dengan sopan saat suamiku menyodorkan seluruh uang penghasilannya kepadaku.
Ya! Biasanya aku layaknya bank dimata suami. Dimana dia menyerahkan semua penghasilannya untuk aku kelola dan meminta uang padaku setiap dia butuh sesuatu.
"Maaf mas, kali ini tolong uang kita kamu yang pegang ya ... soalnya aku ngerasa aku belum bisa hemat. Aku yakin kalau kamu yang pegang bisa lebih hemat."

Suamiku mengernyitkan dahi. Lalu mengantongi kembali uang itu.
"Yaudahlah kalau itu mau kamu," katanya kemudian.

Sejak saat itu, aku selalu meminta uang ke suami setiap kali butuh apa-apa. Dan apabila ada kembalian uang, aku kasih ke suamiku lagi. Pokoknya saldo di aku selalu nol.

"Pah, listrik bunyi ...
"Pah, beli sayur, mau daging apa hari ini?
"Pah, susu, telon, popok dede habis ...
"Pah, kaka sama abang minta jajan ...
"Pah, besok kondangan di gedung, ibu minta kita beli gaun dan jgn lupa untuk carter mobil ...
"Pah, kata ibu, sepatu kaka udah jelek malu-maluin. Jangan lupa pulang dari toko beliin kaka sepatu baru ya ...
"Pah, ibu pengen martabak telor yang di dekat SD itu ...
"Pah, sabun, odol, detergen, superpell habis ...
"Pah, pembalut mama habis ...
"Pah, besok jatuh tempo bayar BPJS ...
"Pah, bayar sekolah abang dan kaka ...
"Pah, iyuran bulanan warga, jgn lupa arisan juga. Kita udah dapet, jgn sampe telat bayar nanti diomongin ...
"Pah ...
"Pah ...
"Pah ...

Dan . . . baru 2 bulan, suamiku sudah terlihat melamun.
Entah apa yang dia pikirkan.
'Terserahlah, pikir amat. Yang penting aku bebas dari bully mertuaku. Atur tuh uang kamu yang katanya banyak itu. Pusing kan? . . .  Pusing kan?????,' Batinku yang masih kesal dg suamiku.

Suatu malam ....
Tiba-tiba suamiku memelukku dari belakang.
"Mah . . . maafin papah ya, papah selama ini salah sama mamah, menuduh mamah istri yang boros. Papah sekarang tau, kalau kebutuhan keluarga kita itu sangat banyak."

Aku yang masih merasa kesal dg bully-an dia dan ibunya, kurang merespon permintaan maafnya.
"Bukankah papah sudah bisa berhemat pah, berapa tabungan papa sekarang?" Sindirku.
Suamiku memutar badanku, berlutut, lalu memegang erat jari-jariku..
"Mah . . . aku menyesal. Tolong maafin aku. Aku ngaku salah. Aku mohon, mamah pegang keuangan kita lagi, dan papah akan percaya 100% sama mamah. Tolong papah mah, papah ga bisa kalau harus menangani keuangan keluarga juga. Terlalu rumit. Biarkan aku fokus urus toko ya ...."
"Rumit ya? Rumit untuk tidak boros? Memang hemat itu rumit pah dan aku selalu di bully walaupun aku sudah berhemat."
"Iya mah, papa salah ... papa minta maaf. Plisss maafin papah ...."

Baru pertama aku lihat bibir suamiku gemetar, matanya berkaca-kaca dan mukanya penuh harap.
Ouhhh . . . dia mencium jari-jari tanganku.
Sungguh, aku-pun mulai merasakan tenggorokanku berat, mataku berkaca-kaca dan hidungku agak mampet!.

"Iya pah, mamah maafin papah. Papah sekarang sudah mengerti kan? Mengapa mamah selalu menghabiskan uang papah. Dan yang harus papah tau, Mba Rita dan suaminya itu bekerja sama dalam berhemat jadi mereka bisa mendapatkan apa yang jadi prioritas keluarga mereka.
Dan mereka tidak hidup berdampingan dengan mertua, yang mungkin ... 'keinginan mertua' itu, menjadi tambahan pengeluaran juga buat kita. Jadi tolong jangan bandingin mamah dengan siapapun. Sakiiiit pah ! Sakit rasanya di banding-bandingkan terus !
Kondisi keluarga setiap orang berbeda. Semua hanya sawang sinawang. Yang terlihat enak belum tentu hidupnya benar-benar enak ... bla bla bla bla bla ",

Panjang lebar aku mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini terpendam.
Sampai ahirnya suamiku meletakkan telunjuknya di depan bibirku,
"Husssttt !!! Udah ya mah ... papa udah ngerti. Papa minta maaf, love you mah."
Lalu suamiku menarik kepalaku dan di tempelkannya wajahku ke dadanya. Tanggannya mengelus rambutku. Aku menangis sejadinya, mengenang semua tekanan batin saat di bully ... dan setelahnya aku lega karena aku tersadar, aku tidak akan di bully lagi atau minimal ada yang membela aku saat mertuaku menuduhku istri yang boros.

****
Sekian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sahabat - Dinda Astari Sinurat

Sahabat “Na, di ATM mu ada uang berapa?” tanyaku pada Aina, saat kami mengantri mengambil wudhu didepan tempat wudhu di mushola kampus. “1,9 juta, Dit. Kenapa?” tanyanya sambil menatap tajam mataku. “Aku ada perlu, aku pakai dulu semua boleh? Seminggu lagi aku bayar. Boleh ya Na. Aku minta tolong banget. Please,” Ku pegang erat tangannya, memandang matanya dengan wajah memelas berharap dia luluh. “Oke, aku kasih. Tapi beneran satu minggu yah. Aku perlu uang pegangan untuk beli obat dadakan soalnya.” “Oke,” jawabku bersemangat lalu memeluk tubuhnya. Aina yang ku peluk malah mendorong jidatku agar aku melepaskan pelukannya. Aina adalah sahabat terdekatku. Dia merupakan anak yang taat dan mandiri. Sholat dan ibadah shunnah tidak pernah lepas dari dirinya. Bahkan dia sering membawa Al Qur’an kecil untuk dia baca saat menunggu jam perkuliahan selanjutnya. Aina juga anak yang cerdas, menjadi sahabatnya berhasil menyelamatkanku dari telat wisuda. Sebelum dekat dengannya IPku hanya be

Niat Membantu Atau Menjadikannya Pembantu - Adilla Osin

#kisahnyata #terjadisekitarkita Niat Membantu Atau Menjadikan Pembantu Nama ku nina umur ku 12 tahun, aku tinggal di Cimahi Bandung. Ibu ku sudah meninggal 4 tahun lalu sedangkan ayahku sudah menikah lagi tak lama setelah ibu meninggal. Aku tidak tinggal dengan ayah, karena aku tidak suka dengan ibu sambung ku. Bukan karena dia jahat sepeti ibu tiri di televisi. Hanya karena aku tak nyaman melihatnya berkeliaran di rumah menggunakan semua yang ibu ku punya dan biasa ia pakai. Itu sedikit mengganggu perasaan ku. Sedih saja rasanya. Mungkin benar aku butuh banyak waktu untuk menerima kenyataan hidup ku. Terlebih umurku belum cukup matang untuk mencerna semua keadaan ini. Sejak ibu meninggal, aku tinggal berasama uwak Ismi. Dirumah itu aku tinggal dengan uwak, ninik, dede Ria, dan teteh Mia. Wak Ismi sudah lama bercerai bahkan sepertinya jauh sebelum ibu meninggal. Dirumah ini aku selalu membantu uwak mengurus rumah, dari mulai mencuci piring, nyapu, ngepel, mencuci baju sampai

Menikah Dengan Security - Ummi Aqeela Qairee

#Penjaga_Hati (Menikah dengan Security) Part 1 By Ummi Aqeela Qaireen Inilah takdirku .... Aku mencoba untuk menjalani semuanya dengan ikhlas. Menempatkan prasangka baik di atas pikiran-pikiran burukku tentang kisah yang tak kupahami ini. Menganggap semuanya seakan biasa, meski sesungguhnya sangat tidak biasa, bahkan luar biasa. Bagaimana tidak? Hari ini, aku terpaksa harus menikah dengan laki-laki pilihan mantan suamiku, sebagai syarat agar kami bisa rujuk kembali. Membayangkannya saja rasanya tak pernah, apalagi harus menjalaninya. Namun, apa boleh buat! Talak tiga sudah terlanjur dijatuhkan padaku dan kini Mas Dipo mengajakku rujuk kembali. Langkah ini mau tak mau harus dilalui agar aku bisa menikah kembali dengannya. "Hallo Sayang ... bagaimana acaranya lancar?" tanya Mas Dipo nun jauh di seberang sana. "Alhamdulillah, Mas. Ini baru saja selesai," jawabku cepat. "Syukurlah ... mas masih banyak kerjaan di sini. Kamu baik-baik aja di