Langsung ke konten utama

Menikah Dengan Security - Ummi Aqeela Qairee

#Penjaga_Hati

(Menikah dengan Security)

Part 1

By Ummi Aqeela Qaireen

Inilah takdirku ....

Aku mencoba untuk menjalani semuanya dengan ikhlas.

Menempatkan prasangka baik di atas pikiran-pikiran burukku tentang kisah yang tak kupahami ini.

Menganggap semuanya seakan biasa, meski sesungguhnya sangat tidak biasa, bahkan luar biasa.

Bagaimana tidak? Hari ini, aku terpaksa harus menikah dengan laki-laki pilihan mantan suamiku, sebagai syarat agar kami bisa rujuk kembali.

Membayangkannya saja rasanya tak pernah, apalagi harus menjalaninya. Namun, apa boleh buat! Talak tiga sudah terlanjur dijatuhkan padaku dan kini Mas Dipo mengajakku rujuk kembali. Langkah ini mau tak mau harus dilalui agar aku bisa menikah kembali dengannya.

"Hallo Sayang ... bagaimana acaranya lancar?" tanya Mas Dipo nun jauh di seberang sana.

"Alhamdulillah, Mas. Ini baru saja selesai," jawabku cepat.

"Syukurlah ... mas masih banyak kerjaan di sini. Kamu baik-baik aja di sana, ya. Ikuti semua tahapannya dengan baik. Pokoknya sabar aja dulu, mas pasti cepat pulang dan bereskan semuanya!" tegasnya lagi.

"Iya, Mas. Saya ngikut bagaimana baiknya saja," jawabku lagi.

Setelah berbasa-basi sebentar, dia menutup telepon. Aku pun tak merasa perlu banyak bicara lagi. Semuanya sudah jelas.

Kini ku hanya tinggal mengikuti jalan takdir saja.

🌹🌹🌹🌹🌹

Mungkin orang berpikir, aku wanita lemah, bahkan bodoh. Berkali-kali disakiti, selalu mau memaafkan kembali.

Namun, mereka tak akan pernah tahu bagaimana hebatnya pergolakan bathinku harus melenyapkan sebuah nama dari ingatanku.

Tujuh tahun aku mengenalnya dan hidup bersamanya dalam suka dan duka, tak mungkin aku bisa dengan mudah melupakan sosoknya begitu saja dari hidupku.

Mas Dipo orang baik. Dia tak pernah menyakitiku secara fisik dan sesungguhnya teramat sangat mencintaiku. Namun, sikapnya yang labil dan kekanak-kanakkan, sering menjadi pemicu pertengkaran di antara kami.

Bertahun hidup bersama dan belum diberi keturunan, terkadang juga menimbulkan rasa jenuh, resah, dan gelisah yang berujung pada perdebatan panjang.

Dulu kami menikah muda. Mas Dipo berusia dua puluh tiga tahun, baru lulus sarjana. Aku berusia dua puluh tahun, masih kuliah. Mungkin karena faktor usia, saat itu kami kerap kali bertengkar.

Sebagai istri, aku pun mungkin banyak kekurangan. Sampai akhirnya selama beberapa tahun menikah, dua kali dia menjatuhkan talak, meski belum sampai berproses ke Pengadilan Agama karena sudah cepat rujuk kembali.

Sedangkan untuk yang ketiga kalinya, terjadi sepuluh bulan yang lalu. Semua terjadi begitu cepat sampai berakhir di Pengadilan Agama dan kini kami sudah sama-sama memegang akta cerai.

Namun, dalam perjalanan selanjutnya ternyata takdir berkata lain. Setelah lima bulan berlalu, tiba-tiba Mas Dipo datang kembali menemuiku, memohon dengan sangat agar aku bisa menerimanya kembali. Dia berjanji, kali ini tidak akan menyakitiku lagi.

"Ini kesempatan terakhir, aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik," ucapnya saat itu.

Kali ini, aku tak begitu saja menerimanya. Aku tak mau salah melangkah lagi.

"Banyak Shalat Istikhoroh saja, Rin." Begitu saran teman-teman dekatku.

"Semua terserah kamu, karena kamu yang merasakannya. Mama nggak bisa maksa harus menerima atau menolak. Kamu udah paham betul bagaimana baik-buruknya Dipo." Begitu saran mama saat kuminta pendapat.

"Kalian bisa rujuk kembali dengan satu syarat, Mbak Sabrina harus menikah dengan orang lain terlebih dahulu. Harus diselang dengan pernikahan lain dulu, baru bisa rujuk kembali. Soalnya dulu Mas Dipo sudah tiga kali menjatuhkan talak." Bukan main kagetnya ketika kudengar penjelasan itu dari seorang Ustadz.

Kusampaikan hal itu pada Mas Dipo, ternyata dia tidak keberatan. Bahkan sudah menyebutkan nama laki-laki yang akan menikahiku. Sepertinya dia memang paham betul dengan hal itu dan sudah mempersiapkan semuanya dengan matang.

Sampai akhinya aku memutuskan untuk menerima semuanya, tentu bukan hal mudah. Aku minta syarat agar pernikahan ini dirahasiakan. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Tokh tidak semua orang juga paham kalau aku mendapat talak tiga dari Mas Dipo.

🌹🌹🌹🌹🌹

Hari ini, aku resmi menjadi istri dari lelaki bernama Raditya Nugraha.

Disaksikan mama, papa, penghulu dan ketua RT, kami baru saja melangsungkan akad nikah di sebuah rumah yang sengaja disiapkan Mas Dipo untuk kami tempati sementara ini.

Dia sendiri kemarin sudah terbang ke Swedia dalam rangka ekspansi usahanya di sana. Sebulan kemudian baru akan kembali ke Indonesia, setelah berkeliling ke beberapa negara di Eropa untuk tujuan yang sama.

Usai acara, kami menikmati jamuan alakadarnya sambil beramah-tamah. Tak lama kemudian, mama, papa dan tamu lain satu per satu mulai berpamitan pulang meninggalkan kami.

"Maaf, Bu. Saya izin mau menyimpan barang-barang dulu. Di mana, ya?" Tiba-tiba Radit datang membuyarkan lamunanku.

Aku baru teringat kalau sejak tadi, barang-barang bawaannya masih tersimpan di bagasi mobil. Usai kami menjemputnya tadi pagi, memang belum sempat diturunkan.

"Oh iya, maaf lupa. Ambil dulu, nih! Simpan di kamar depan saja, ya." Aku memberikan kunci mobil, lalu mengantarnya sampai ke pintu kamar.

"Baik, Bu. Terima kasih," jawabnya sambil tersenyum memandangku.

Setelah mengambil barang-barang dari dalam mobil, dia bergegas masuk ke dalam kamar.

Aku pun segera berlalu meninggalkannya, kemudian duduk di sofa ruang tengah dalam keadaan bingung, entah harus memulai dari mana untuk menjalani semua ini?

Lelaki yang disebut Mas Dipo sebagai teman dekat itu, ternyata Security di kantornya. Dia terhitung pegawai baru. Aku pun baru mengenalnya sekarang.

Sepintas orangnya memang terlihat baik dan santun. Salah-satu pertimbangan Mas Dipo memilihnya juga karena dia lugu. Tidak mungkin berbuat macam-macam. Begitu katanya.

Perawakan Radit tinggi, kulitnya sedikit gelap,  dan usianya tak beda jauh denganku. Saat ijab kabul tadi, aku baru tahu kalau usianya baru dua puluh lima tahun. Hanya terpaut dua tahun lebih muda dariku dan statusnya masih perjaka.

Awalnya Mas Dipo menjanjikan sejumlah uang untuk dia, tapi dia menolak. Dia bilang ikhlas membantu kami tanpa imbalan apapun.

Sungguh, sedikitpun aku tak menyangka jika perjalanan hidupku akan berliku seperti ini.

Ternyata aku harus tinggal satu atap dengan lelaki asing yang tak pernah kukenal sebelumnya. Sekarang aku mencoba menjalani dan menikmati semua prosesnya. Harapanku hanya satu, semoga selanjutnya takdir baik berpihak kepadaku.

🌹🌹🌹🌹🌹

Bosan cuma duduk-duduk di sofa, aku mencoba pindah ke kamar tengah. Sempat tiduran sebentar, tak terasa sudah masuk waktu dhuhur.

Cepat-cepat kupakai jilbab dan kurapikan pakaianku, lalu berjalan ke luar kamar.

"Mau berjamaah, Bu?" tanya Radit saat bertemu di mushola kecil kami. Rupanya dia juga sudah siap-siap untuk menunaikan kewajibannya.

"Boleh," jawabku cepat sambil memakai mukena dan berdiri di belakangnya.

Usai shalat wajib dan sunnah. Dia memimpin dzikir bersama. Aku mengikutinya dengan perasaan tak menentu.

Lebih-lebih saat dia membalikkan badan dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman, aku menyambutnya dengan gemetar.

Hari ini, dua kali sudah aku mencium tangannya. Saat usai ijab kabul dan ba'da shalat berjamaah sekarang ini.

Apapun ceritanya dan bagaimana pun judulnya, status kami memang sah sebagai suami istri. Dalam khutbah nikah tadi pun, Pak Penghulu mengingatkan kembali pada kami untuk meluruskan niat. Jangan sampai pernikahan yang sakral ini dibuat main-main. Haram hukumnya dengan sengaja mempermainkan sebuah pernikahan.

Sungguh, aku tak mampu berkata-kata lagi mendengarnya.

Radit pun sempat ditanya mengenai hal itu sebelumnya. Dia menjawab serius dengan pernikahan ini dan berjanji akan memperlakukan aku sebagai istrinya dengan sebaik mungkin.

Radit tidak salah. Memang begitu seharusnya. Tidak boleh sampai terucap dalam lisannya bahwa ini hanya pernikahan sebagai selingan saja.

"Kita makan siang dulu, yu!" Aku mencoba menetralisir keadaan dengan menggiringnya menuju ruang makan. Kebetulan sisa jamuan tadi masih banyak.

"Siap, Bu!" Dia segera duduk di kursi dan menungguku menyajikan makanan.

Aku memberinya piring, sendok dan segelas air minum.

"Ibu makan juga, dong! Masa cuma lihatin saya doang ...."

Aku tersipu malu, sadar kalau dari tadi cuma duduk bengong memperhatikan dia makan.

"I-iya, nanti juga makan. Tenang aja. Kamu aja duluan. Makan yang banyak, ya! Jangan malu-malu." Aku membantu menuangkan nasi dan sayur ke dalam piringnya.

"Kalau urusan makan, saya nggak pernah malu-malu, Bu. Malu-maluin, iya!"

Aku tertawa mendengan kata-katanya. Ternyata dia senang bercanda juga.

"Kalau nggak makan di sini, mau di mana lagi, Bu? Masa mau minta ke tetangga? Jadi maaf kalau saya nambah ya, Bu!" ucapnya sambil mengambil secentong nasi lagi.

Aku kembali tertawa, "Ya, betul. Makanlah terus!"

🌹🌹🌹🌹🌹

Usai makan siang, Radit masuk kamar sebentar dan kembali lagi dalam keadaan sudah berseragam security lengkap.

"Mau ke mana?" tanyaku heran.

"Kerja, Bu. Hari ini saya dapat shift kedua. Berangkat jam dua siang,  pulang jam sebelas malam."

"Oh ...." desisku pelan.

"Emang nggak minta izin ke kantornya?"

"Nggak, Bu. Saya sudah perkirakan acara tadi nggak akan lama. Jadi sengaja nggak minta izin dari kantor supaya siangnya bisa langsung masuk kerja. Saya pamit dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Eh tunggu dulu!" Aku berusaha mengejarnya dan segera kuraih tangannya.

"Hati-hati di jalan. Baik-baik kerjanya, ya!" ucapku sambil mencium tangannya.

Radit tampak terharu mendengar ucapanku, "Makasih ya, Bu."

"Sama-sama. Apa nggak bawa mobil saya aja? Di luar mendung, nanti kamu kehujanan!"

"Nggak usah, Bu. Sudah biasa hujan-hujanan, kok. Kalau bawa mobil Ibu, nanti malah orang pada curiga."

"Hmm ... betul juga. Ya sudahlah."

Radit segera menghidupkan mesin motornya dan sebentar kemudian sudah menghilang dari hadapanku.

🌹🌹🌹🌹🌹

Malam ini rasanya mataku sulit terpejam. Baru tidur sebentar, sudah terbangun lagi dan refleks melihat jam dinding.

Aku khawatir barangkali Radit pulang tidak kedengaran. Apalagi dia pergi tidak membawa kunci cadangan.

Jam sebelas tepat, aku sudah bersiap-siap duduk di sofa. Sambil menunggu dia pulang, kuhangatkan makanan untuk makan malamnya. Kasian, dia pasti capek dan lapar sekali.

Kekhawatiranku tadi siang ternyata benar-benar terbukti. Radit pulang dalam keadaan kehujanan. Separuh bajunya basah tersiram air hujan. Aku membantunya melepas jas hujan di teras depan rumah.

Ah, hati siapa tak sedih melihatnya. Untung di kamar depan ada kamar mandi dan terpasang  water heater di dalamnya. Aku segera menyuruhnya untuk membersihkan diri.

Sambil menunggu dia mandi, aku tertegun sendiri.

Hari ini adalah hari pernikahannya. Mestinya hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya. Namun, itu tidak berlaku untuk dia.

Tidak ada hari istimewa untuknya. Hari ini dia bekerja seperti biasa. Bahkan pulang malam dalam keadaan diguyur hujan.

Kemudian yang paling menyedihkan lagi, tidak ada malam pertama bagi dia sebagaimana pengantin baru pada umumnya.

Ah, Radit. Betapa malang nasibmu ....

(BERSAMBUNG)

> Tolong jangan dibully, ya. Saya punya punyakit jantung dan hypertensi sekunder.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sahabat - Dinda Astari Sinurat

Sahabat “Na, di ATM mu ada uang berapa?” tanyaku pada Aina, saat kami mengantri mengambil wudhu didepan tempat wudhu di mushola kampus. “1,9 juta, Dit. Kenapa?” tanyanya sambil menatap tajam mataku. “Aku ada perlu, aku pakai dulu semua boleh? Seminggu lagi aku bayar. Boleh ya Na. Aku minta tolong banget. Please,” Ku pegang erat tangannya, memandang matanya dengan wajah memelas berharap dia luluh. “Oke, aku kasih. Tapi beneran satu minggu yah. Aku perlu uang pegangan untuk beli obat dadakan soalnya.” “Oke,” jawabku bersemangat lalu memeluk tubuhnya. Aina yang ku peluk malah mendorong jidatku agar aku melepaskan pelukannya. Aina adalah sahabat terdekatku. Dia merupakan anak yang taat dan mandiri. Sholat dan ibadah shunnah tidak pernah lepas dari dirinya. Bahkan dia sering membawa Al Qur’an kecil untuk dia baca saat menunggu jam perkuliahan selanjutnya. Aina juga anak yang cerdas, menjadi sahabatnya berhasil menyelamatkanku dari telat wisuda. Sebelum dekat dengannya IPku hanya be

Niat Membantu Atau Menjadikannya Pembantu - Adilla Osin

#kisahnyata #terjadisekitarkita Niat Membantu Atau Menjadikan Pembantu Nama ku nina umur ku 12 tahun, aku tinggal di Cimahi Bandung. Ibu ku sudah meninggal 4 tahun lalu sedangkan ayahku sudah menikah lagi tak lama setelah ibu meninggal. Aku tidak tinggal dengan ayah, karena aku tidak suka dengan ibu sambung ku. Bukan karena dia jahat sepeti ibu tiri di televisi. Hanya karena aku tak nyaman melihatnya berkeliaran di rumah menggunakan semua yang ibu ku punya dan biasa ia pakai. Itu sedikit mengganggu perasaan ku. Sedih saja rasanya. Mungkin benar aku butuh banyak waktu untuk menerima kenyataan hidup ku. Terlebih umurku belum cukup matang untuk mencerna semua keadaan ini. Sejak ibu meninggal, aku tinggal berasama uwak Ismi. Dirumah itu aku tinggal dengan uwak, ninik, dede Ria, dan teteh Mia. Wak Ismi sudah lama bercerai bahkan sepertinya jauh sebelum ibu meninggal. Dirumah ini aku selalu membantu uwak mengurus rumah, dari mulai mencuci piring, nyapu, ngepel, mencuci baju sampai